Beberapa
hari yang lalu masyarakat indonesia dikejutkan oleh sebuah berita yang
sangat menyesakkan dada. Sebuah berita yang membuat setiap orang mulai
berpikir bahwa memang benar negara dan masyarakat kita sedang dalam
kondisi sakit yang teramat parah. Sebuah berita pemerkosaan yang
dilakukan oleh sekelompok anak-anak SD terhadap temannya sendiri. Ini
jelas sebuah kabar buruk yang rasanya mustahil bisa terjadi di sebuah
negara yang dihuni oleh bangsa-bangsa yang beradab.
Di suatu sore, di sebuah gudang yang sepi yang terletak nun jauh di Gowa
- Sulawesi Selatan sana, ramai terdengai derai tawa 6 bocah ( lima
laki-laki dan satu perempuan ) berusia antara 11 hingga 12 tahun.
Anak-anak yang masih duduk di SD kelas 4 dan 5 ini sepintas terlihat
bermain sebagaimana anak seusianya. Bercanda, tertawa, berlari-lari,
berteriak-teriak dengan riang. Namun ada yang tak biasa di sana. Sebuah
tragedi tengah membayangi mereka.
Anak-anak
itu, selepas bermain dan bercanda, melakukan sesuatu yang sulit dicerna
oleh akal sehat manusia. Anak-anak yang seharusnya bermain dengan hati
bersih dan pikiran lugu itu, telah berubah menjadi manusia cilik berotak
mesum dan berhati cabul, serta dada yang disesaki oleh nafsu syahwat
yang tidak semestinya ada pada diri anak-anak sekecil itu.
Selepas bermain, kelima anak laki-laki itu memaksa teman perempuan
satu-satunya yang ada di sana untuk berbaring, lalu satu persatu mereka
memperkosanya. Suara tawa berubah menjadi erangan, lenguhan bercampur
dengan jerit tangis dan isak kesakitan yang tak terbayangkan. Bencana
telah terjadi. Aib telah terukir. Dosa kolektif telah dimulai.
Jangan lagi bertanya setan apa gerangan yang telah merasuki bocah-bocah
cilik itu. Jangan juga menyebut mereka bandit kecil, karena sesungguhnya
dalam kasus ini, baik pemerkosa maupun yang diperkosa sama-sama
berstatus sebagai korban kelalaian.
Orang tua yang Abai.
Apa yang dapat diharapkan dari para orang tua yang telah begitu lalai terhadap keselamatan dan keamanan anak-anaknya ? Tidak ada. Sejatinya semua orang tua anak-anak itu adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya kasus ini.
Orang tua tak seharusnya lengah setitikpun terhadap keselamatan
anak-anaknya. Kemana saja mereka ketika peristiwa itu terjadi ? Mengapa
orang tua tak bersegera mencari anak-anaknya yang belum juga pulang,
sementara sore sudah semakin menuju malam ? mengapa mereka tak merasa
cemas sedikitpun, kemana hilangnya semua naluri orang tua yang
seharusnya mereka miliki ?
Jangan kesibukan kerja dijadikan alasan pembenar bagi orang tua untuk
tidak mengawasi anak-anaknya. Akan sia-sia saja segala jerih payah kerja
yang nota bene ditujukan bagi keluarga, bagi masa depan anak, jika
kemudian anak-anak justru menjadi korban kesibukan orang tua. Jangan
jadi orang tua kalau tak becus mengurus anak.
Masyarakat yang sakit dan Pemerintah yang lemah.
Pihak selanjutnya yang harus bertanggung jawab atas keselamatan dan
keamanan anak-anak adalah anggota masyarakat. Tidak peduli bagaimana
status seseorang dalam masyarakat, apapun profesinya, asalkan dia telah
dewasa, maka seharusnya dia sudah dapat memikul beban tanggung jawab
atas keselamatan anak-anak yang ada di lingkungannya. Tidak saja menjaga
secara fisik, memastikan keselamatannya, namun lebih jauh lagi
memastikan perkembangan mental anak-anak. Orang
dewasa dalam sebuah masyarakat harus menjadi teladan yang baik,
pendamping yang bijak, dan pemimpin yang terpercaya. Jika orang-orang
dewasa dalam sebuah komunitas masyarakat tidak memiliki karakter seperti
itu, maka efek kerusakan yang menimpa seluruh warga masyarakat terutama
anak-anak sudah dapat dibayangkan. Dalam hal ini pemimpin yang tak
dapat dipercaya dan pemerintah yang lemah adalah penyumbang terbesar
kerusakan itu. Lelah hati kita menyaksikan tingkah polah para pemimpin
yang tak hanya berperilaku korup, namun juga berperangai tamak
kekuasaan, munafik, berkinerja buruk, dan sama sekali tidak dapat
diandalkan. Pantas saja anak-anak negeri ini mengalami kerusakan
sebegitu parahnya. Jangan pilih pemimpin seperti itu di masa mendatang.
Hati-hati menyimpan konten Pornografi
Mencandu konten pornografi adalah hak seseorang. Terserah saja. Namun
sebaiknya dia tidak melupakan satu hal ketika dia mengakses konten
pornografi. Dia tidak sekedar memiliki hak, tetapi juga memiliki kewajiban. Yakni kewajiban bersikap ekstra hati-hati untuk menjaga agar gambar mesum yang diaksesnya itu tidak turut terakses oleh anak-anak di bawah umur. Akan sangat fatal akibatnya. Sia-sia saja
jerih payah para Guru mendidik akhlak yang baik di sekolah, agar kita
semua senantiasa menjaga hati dan pandangan, jika orang tua di rumah
malah memfasilitasi segala sumber kerusakan moral itu.
Jangan pernah menyimpan keping cakram film porno di sembarang tempat
yang mudah dijangkau dan dilihat anak. Jangan pernah men download dan
men save video porno di PC, laptop, tablet, atau ponsel anda, tanpa anda
memiliki passwordnya. Anak-anak yang memperkosa temannya itu mengaku
melakukan perbuatan tersebut akibat terangsang sebab sering melihat
adegan porno melalui ponsel milik orang tuanya.
Jika seseorang memiliki sifat yang sangat pelupa namun sangat gandrung
mengamati adegan asyik masyuk dalam film porno, maka disarankan
sebaiknya simpan saja semua gambar cabul itu di dalam memori otaknya,
dan biarkan hanya otak dia saja yang bertambah mesum. Jangan sampai
anak-anak ikut tercemar oleh perilaku cabul yang sangat jauh dari
kepantasan itu.
Sanksi Hukum Bukan Jalan Keluar
Meskipun masih dibawah umur, kelima anak pelaku pemerkosaan itu terancam
hukuman maksimal 5 tahun penjara. Apakah sanksi hukum itu akan berjalan
efektif ? Terus terang saya meragukannya. Bagaimana tidak ragu, jika
setiap tindak pidana yang memiliki implikasi sosial yang sangat luas, dan mengancam masa depan anak-anak, hanya sebetas diselesaikan
dengan pendekatan legal-formal yang hanya mengenal kata hitam-putih :
guilty or not guilty. Hukum tak membahas bagaimana penyesalan dan
kesedihan anak-anak itu. Bagaimana trauma dan takutnya mereka menghadapi
orang dewasa yang mendapati perbuatannya. Bagaimana memulihkan cedera
batin berkepanjangan yang akan diderita anak-anak pelaku dan korban
pemerkosaan tersebut. Orang tua, guru, para profesional di bidangnya,
dan masyarakat harus dilibatkan secara aktif dan komprehensif dalam
menolong anak-anak yang malang ini.
Anak-anak adalah cermin sebuah bangsa di masa depan.
Kita semua akan kian menua dan akhirnya mati. Tak dapat disangkal lagi,
anak-anak adalah tumpuan harapan masa depan kita. Oleh karena itu
satu-satunya jalan menyelamatkan masa depan bangsa ini adalah dengan
mendidik dan menjaga anak-anak
kita dengan baik, agar mereka menjelma menjadi insan yang penuh kasih
sayang, berbahagia, cerdas, kreatif, dan berakhlak mulia. Saya sungguh
merasa prihatin dan kecewa ketika seorang pemimpin di Jakarta dengan
ringan mulut mengatakan bahwa zaman sekarang jangan lagi bicara soal
akhlak, soal moral, karena menurut dia, orang yang berakhlak adalah
ciri orang munafik ! pantas saja masyarakat kita jadi sakit begini,
karena moralitas sudah dianggap
sebagai sesuatu yang tidak penting lagi. Tapi sudahlah, terserah
pemimpin mau bicara apa. Mari kita bergerak sendiri. Yang penting didik
anak-anak dengan kasih sayang, dan selamatkan masa depan mereka, dengan
sekuat tenaga kita, dengan segala itikad baik kita. Karena saya yakin,
dengan pertolongan Allah, masa depan yang lebih baik itu masih ada. (http://www.kompasiana.com/pujinurani)